Tuesday, July 28, 2009

Eksotisme Yogyakarta dalam Film Indonesia

Apakah Yogyakarta hanya Malioboro, Wijilan, Tugu, dan desa-desa bersawah luas? Tentu tidak. Untuk pilihan tempat makan kaki lima, Anda bisa mengunjungi UGM Boulevard di wilayah utara. Pasar Beringhardjo, di Malioboro, memang merupakan salah satu pilihan tempat berbelanja, namun bukan satu-satunya. Barang bekas bertumpuk di Pasar Klitikan, barang-barang kerajinan berbahan rotan di Godean, atau batik di Imogiri dan Taman Sari. Bahkan komplek pelacuran, entah legal atau tidak, bukan hanya Pasar Kembang di Malioboro, tetapi juga di Kotagede.

Tugu memang menjadi landmark kota pelajar ini, tetapi penggambarannya dalam sejumlah film kerap menimbulkan kesan bahwa pembuatnya perlu cara cepat untuk menunjukkan bahwa kota yang diceritakan adalah Yogyakarta. Bersama Pasar Kembang, Malioboro dan Wijilan, lokasi-lokasi itu menguasai lanskap kota Yogyakarta dalam film Indonesia.

Masalahnya adalah, pembuat film mencari jalan pintas untuk menunjukkan bahwa lokasi dalam filmnya adalah Yogyakarta. Peminjaman tempat sepintas beserta bagian-bagian yang ada di tempat tersebut sambil lalu, dalam film, seperti yang dilakukan beberapa pembuat film pada contoh di atas disebut visit filmmaking (atau tourism filmmaking). Sebenarnya sah saja sebuah film menampilkan apapun yang diinginkan pembuatnya, tidak harus sesuai dengan keadaan di luar film—toh ini bukan dokumenter—selama logika penonton akan film dan ceritanya dikonstruksikan dengan baik sejak awal.

rumahfilm.org

No comments:

Post a Comment