Tuesday, July 28, 2009

beberapa film indonesia yg di cekal

Sensor terhadap media di Indonesia diberlakukan dalam berbagai tingkatannya sejak masa Demokrasi Terpimpin hingga Orde Reformasi. Di masa Orde Baru khususnya sensor ini dijalankan dengan sangat ketat. Hingga kini lebih dari 60 buah film dilarang beredar. Sebagian besar dari film-film itu diproduksi pada masa Orde Baru. Film-film yang kena celak itu ada yang tertahan bertahun-tahun di meja sensor atau ditarik dari peredaran karena protes dari segolongan orang atau masyarakat. Film harus disensor berlapis-lapis melalui berbagai lembaga seperti Departemen Penerangan dan Laksusda. Bahkan pejabat publik pun dapat menghentikan pemutaran film karena alasan pribadi.

Di masa Orde Reformasi sekalipun, yang konon menjalankan keterbukaan, masih ada film-film yang dilarang beredar karena berbagai alasan.

Berikut ini adalah daftar film Indonesia yang kena cekal sejak masa Demokrasi Terpimpin, hingga Orde Reformasi, dan alasan-alasannya. Pembaca diundang untuk melengkapinya:

wikipedia.org

Eksotisme Yogyakarta dalam Film Indonesia

Apakah Yogyakarta hanya Malioboro, Wijilan, Tugu, dan desa-desa bersawah luas? Tentu tidak. Untuk pilihan tempat makan kaki lima, Anda bisa mengunjungi UGM Boulevard di wilayah utara. Pasar Beringhardjo, di Malioboro, memang merupakan salah satu pilihan tempat berbelanja, namun bukan satu-satunya. Barang bekas bertumpuk di Pasar Klitikan, barang-barang kerajinan berbahan rotan di Godean, atau batik di Imogiri dan Taman Sari. Bahkan komplek pelacuran, entah legal atau tidak, bukan hanya Pasar Kembang di Malioboro, tetapi juga di Kotagede.

Tugu memang menjadi landmark kota pelajar ini, tetapi penggambarannya dalam sejumlah film kerap menimbulkan kesan bahwa pembuatnya perlu cara cepat untuk menunjukkan bahwa kota yang diceritakan adalah Yogyakarta. Bersama Pasar Kembang, Malioboro dan Wijilan, lokasi-lokasi itu menguasai lanskap kota Yogyakarta dalam film Indonesia.

Masalahnya adalah, pembuat film mencari jalan pintas untuk menunjukkan bahwa lokasi dalam filmnya adalah Yogyakarta. Peminjaman tempat sepintas beserta bagian-bagian yang ada di tempat tersebut sambil lalu, dalam film, seperti yang dilakukan beberapa pembuat film pada contoh di atas disebut visit filmmaking (atau tourism filmmaking). Sebenarnya sah saja sebuah film menampilkan apapun yang diinginkan pembuatnya, tidak harus sesuai dengan keadaan di luar film—toh ini bukan dokumenter—selama logika penonton akan film dan ceritanya dikonstruksikan dengan baik sejak awal.

rumahfilm.org

tentang film indonesia

Apakah perfilman nasional saat ini telah sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pendahulu Anda, misalnya keinginan Bapak H Usmar Ismail yang menginginkan bahwa film juga digunakan sebagai alat untuk membentuk karakter bangsa?

bisa menjadi (salah satu) pembentuk karakter bangsa, ada film nasional yang ditonton (dan menyentuh hati) lima juta penonton di Indonesia, jika dibuat dengan baik dan mengandung pesan antikorupsi misalnya film bisa berperan penuh. Belum lagi kalau melihat potensi ekonominya.

Kenapa film Indonesia suka latah? Seperti film horor yang tak terhitung banyaknya. Sampai nek’ membaca judulnya saja. Kenapa tidak membuat film action? Korsel, Hongkong, bahkan Thailand bisa membuat film action bermutu yang laku sampai ke luar negeri.

Sebagian film Indonesia dibuat oleh pebisnis film, para pedagang. Adalah sifat umum dalam berdagang untuk melayani keinginan pasar.

kompas.com